Marganingsih dalam bahasa setempat (Jawa)
berarti jalan mengalirnya kasih. Keutamaan inilah yang menjadi bahan
utama dalam pergumulan setiap peziarah di Gua Maria Marganingsih. Untuk
bisa sampai menyentuh pada pengalaman pergumulan bahwa Maria merupakan
jalan mengalirnya kasih Allah, sebenarnya bukanlah jalan pintas. Hal
ini kentara sekali ketika peziarah memasuki lokasi peziarahan ini.
Begitu masuk, peziarah dihadapkan pada dinding bebatuan yang melapisi
hampir setiap lereng bukit. Memang hampir seluruh bebatuannya merupakan
tiruan dari tangan-tangan perupa. Namun, keberadaannya seolah suatu
gambaran pengolahan hidup yang begitu mendalam dan keras. Apalagi ketika
mesti menapaki laku jalan salib. Jalan yang disajikan cukup mendaki
dengan 14 peristiwa salib Kristus yang terbagi dalam tujuh teras, di
lereng bukit itu. Masing-masing teras dihubungkan jalan berundak.
Usai
pada penghujung perhentian salib yang terdapat di teras paling puncak,
peziarah lalu diajak turun menapaki jalan berundak. Itulah perjalanan
menuju gua. Tatkala mulai mendekati gua, peziarah diajak singgah
sejenak di rumah Keluarga Kudus Nazaret. Dalam rumah keluarga inilah
peziarah diingatkan akan keutamaan-keutamaan yang pernah dihidupi Yusuf,
Maria, dan Yesus. Dan dari pada-Nya, peziarah patut berserah diri serta
menimba makna hidup. Setelahnya, barulah menuju gua lalu duduk hening
di hadapan Bunda Maria Marganingsih.
Kisah goa ini bermula 80-an
tahun silam. Saat itu, pasutri Max. Somowihardjo dan Maria Margareta
Sukepi tengah digelayuti rasa gundah gelisah. Genap lima tahun menikah,
namun tiada juga dikaruniai momongan. Muncul niat hati untuk mengetuk
pintu rahmat Tuhan. Jadilah keduanya mengadakan laku ziarah ke Gua Maria
Sendangsono. Dari Bayat ke Sendangsono jaraknya lebih dari 50 km),
suami istri ini hanya berjalan kaki.
Melalui
Bunda Maria Sendangsono, pasutri yang merupakan cikal bakal umat
Katolik Bayat ini memelas di hadirat Allah. Hasrat untuk mendapat
momongan begitu memuncak tak terbendung. Sampai-sampai,
keduanya mengikat hasratnya itu dengan suatu janji suci kepada yang
ilahi: Bila Tuhan sedia menganugerahi seorang putra, maka putra itu
nantinya akan dipersembahkan kembali untuk Tuhan.
Dalam
perguliran masa, suami istri ini terperangah atas apa yang didapati.
Seorang putra lahir, yang pada giliran masanya disusul dengan kelahiran
demi kelahiran hingga pada angka 12, enam anak laki-laki dan enam
perempuan. Kebahagiaan semakin tuntas, yakni tatkala putra sulungnya
yang bernama Martinus Soenarwidjaja masuk seminari dan akhirnya menjadi
pastor Jesuit (SJ).
Mengalami
kasih yang tercurah itu, sekitar tahun 1950, di sepetak tanah
perbukitan, Max. Somowihardjo membangun Gua Maria. Gua berukuran mungil
nan sederhana yang berada di antara perdu-perdu liar itu dia rebut Gua
Maria Marganingsih. Sejak awal, gua tersebut dimaksudkan agar bisa
digunakan umat untuk berdoa.
Itulah
sebabnya, keluarga Max. Somowihardjo selalu mengajak umat Katolik di
wilayahnya untuk ikut berdoa. Sayangnya, ada saja pihak yang kurang
berkenan atas keberadaan gua tersebut. Patung Bunda Maria raib hingga
dua kali karena diambil orang. Hal ini tak membuat umat setempat surut.
Di dalam gua tersebut diletakkan patung Bunda Maria yang baru. Hanya
saja, gua itu lalu diberi jeruji besi yang dikunci. Di hadapan Bunda
Maria dalam kerangkeng, umat setempat tetap rajin menyampaikan setiap
rasa hatinya.
Pembangunan
yang diprakarsai Almarhum Romo Martinus Sunarwidjaja SJ (mantan Vikaris
Jenderal Keuskupan Agung Jakarta) dan saudara-saudaranya ini mendapat
sambutan dari pihak Gereja Keuskupan Agung Semarang (KAS). Akhirnya,
tempat ziarah ini diserahkan kepada KAS. Gua Maria Marganingsih
diberkati Mgr lgnasius Suharyo Pr, Minggu. 27 Oktober 2002.
[Disadur dari Majalah Hidup, 12 Januari 2003, Judul asli: Gua Maria Marganingsih-Maria Dalam Kerangkeng Besi, oleh Ign. Elis Handoko SCJ.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar