Kamis, 11 Oktober 2012

Sejarah Gua Maria Marganingsih di Desa Ngaren-KLATEN


     Marganingsih dalam bahasa setempat (Jawa) berarti jalan mengalirnya kasih. Keutamaan inilah yang menjadi bahan utama dalam pergumulan setiap peziarah di Gua Maria Marganingsih. Untuk bisa sampai menyentuh pada pengalaman pergumulan bahwa Maria merupakan jalan mengalirnya kasih Allah, sebenar­nya bukanlah jalan pintas. Hal ini kentara sekali ketika peziarah memasuki lokasi peziarahan ini. Begitu masuk, peziarah dihadapkan pada dinding bebatuan yang melapisi hampir setiap lereng bukit. Memang hampir seluruh bebatuannya merupakan tiruan dari tangan-tangan perupa. Namun, keberadaannya seolah suatu gambaran pengolahan hidup yang begitu mendalam dan keras. Apalagi ketika mesti menapaki laku jalan salib. Jalan yang disajikan cukup mendaki dengan 14 peristiwa salib Kristus yang terbagi dalam tujuh teras, di lereng bukit itu. Masing-masing teras dihubungkan jalan berundak.

Usai pada penghujung perhentian salib yang terdapat di teras paling puncak, peziarah lalu diajak turun menapaki jalan berundak. Itulah perjalanan menuju gua. Tatkala mulai mendekati gua, peziarah diajak singgah sejenak di rumah Keluarga Kudus Nazaret. Dalam rumah keluarga inilah peziarah diingatkan akan keutamaan-keutamaan yang pernah dihidupi Yusuf, Maria, dan Yesus. Dan dari pada-Nya, peziarah patut berserah diri serta menimba makna hidup. Setelahnya, barulah menuju gua lalu duduk hening di hadapan Bunda Maria Marganingsih.

Kisah goa ini bermula 80-an tahun silam. Saat itu, pasutri Max. Somowihardjo dan Maria Margareta Sukepi tengah digelayuti rasa gundah gelisah. Genap lima tahun menikah, namun tiada juga dikaruniai momongan. Muncul niat hati untuk mengetuk pintu rahmat Tuhan. Jadilah keduanya mengadakan laku ziarah ke Gua Maria Sendangsono. Dari Bayat ke Sendangsono jaraknya lebih dari 50 km), suami istri ini hanya berjalan kaki.

Melalui Bunda Maria Sendangsono, pasutri yang merupakan cikal bakal umat Katolik Bayat ini memelas di hadirat Allah. Hasrat untuk mendapat momongan begitu memuncak tak terbendung. Sampai-sampai, keduanya mengikat hasratnya itu dengan suatu janji suci kepada yang ilahi: Bila Tuhan sedia menganugerahi seorang putra, maka putra itu nantinya akan dipersembahkan kembali untuk Tuhan.

Dalam perguliran masa, suami istri ini terperangah atas apa yang didapati. Seorang putra lahir, yang pada giliran masanya disusul dengan kelahiran demi kelahiran hingga pada angka 12, enam anak laki-laki dan enam perempuan. Kebahagiaan se­makin tuntas, yakni tatkala putra sulungnya yang bernama Martinus Soenarwidjaja masuk seminari dan akhirnya menjadi pastor Jesuit (SJ).

Mengalami kasih yang tercurah itu, sekitar tahun 1950, di sepetak tanah perbuki­tan, Max. Somowihardjo membangun Gua Maria. Gua berukuran mungil nan sederhana yang berada di antara perdu-perdu liar itu dia rebut Gua Maria Marganingsih. Sejak awal, gua tersebut dimaksudkan agar bisa digunakan umat untuk berdoa.

Itulah sebabnya, keluarga Max. Somowihardjo selalu mengajak umat Katolik di wilayahnya untuk ikut berdoa. Sayangnya, ada saja pihak yang kurang berkenan atas keberadaan gua tersebut. Patung Bunda Maria raib hingga dua kali karena diambil orang. Hal ini tak membuat umat setempat surut. Di dalam gua tersebut diletakkan patung Bunda Maria yang baru. Hanya saja, gua itu lalu diberi jeruji besi yang dikunci. Di hadapan Bunda Maria dalam kerangkeng, umat setempat tetap rajin menyampaikan setiap rasa hatinya.

Pembangunan yang diprakarsai Almarhum Romo Martinus Sunarwidjaja SJ (mantan Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Jakarta) dan saudara-saudaranya ini mendapat sambutan dari pihak Gereja Keuskupan Agung Semarang (KAS). Akhirnya, tempat ziarah ini diserahkan kepada KAS. Gua Maria Marganingsih diberkati Mgr lgnasius Suharyo Pr, Minggu. 27 Oktober 2002.

[Disadur dari Majalah Hidup, 12 Januari 2003, Judul asli: Gua Maria Marganingsih-Maria Dalam Kerangkeng Besi, oleh Ign. Elis Handoko SCJ.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar